BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hidupnya, manusia menghadapi ketidak pastian,
baik itu ketidak pastian yang sifatnya spekulasi maupun ketidak pastian murni
yang selalu menimbulkan kerugian. Ketidak pastian murni inilah yang
seringkali disebut denga risiko. Risiko terdapat dalam berbagai bidang,
dan bisa digolongkan dalam dua kelompok utama yaitu:
1. Risiko fundamental
Risiko fundamental ini sifatnya kolektif dan dirasakan
oleh seluruh masyarakat, seperti risiko politis, ekonomis, sosial, hankam dan
internasional
2. Risiko khusus
Resiko khusus, sifatnya lebih individual karena
dirasakan oleh perorangan, seperti resiko terhadap harta benda, terhadap diri
pribadi, dan terhadap kegagalan usaha.
Untuk menghadapi resiko ini tentunya diperlukan suatu
instrument atau alat yang setidak-tidaknya akan dapat mencegah atau mengurangi
timbulnya resiko itu. Instrument atau alat ini disebut dengan jaminan
sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tenaga Kerja ?
2. Bagaimana Jenis Perlindungan Kerja ?
3. Apa Saja Jenis Jaminan Sosial Tenaga kerja ?
4. Bagaimana
Sejarah Jaminan Sosial Ketenaga Kerjaan ?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memberi
pemahaman tentang :
1. Pengertian Tenaga Kerja
2. Jenis Perlindungan Kerja
3. Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja
4. Sejarah
Jaminan Sosial Ketenaga Kerjaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tenaga Kerja
Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun
2003 tentang ketenaga kerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat.
Tenaga kerja merupakan modal utama
serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari
pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga
kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di jamin haknya, diatur
kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang
bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan social
tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang
wajib di laksanakan oleh setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan
orang untuk bekerja pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu
mengenai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan di maksud diselenggarakan
dalam bentuk jaminan social tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan
atau bersifat dasar, dengan bersaskan usaha bersama, kekeluargaan dan kegotong
royongan sebagai mana yang tercantum dalam jiwa dan semangat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan jaminan
sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan
pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya
kesehatan dibidang penyembuhan. Oleh karena itu upaya penyembuhan memerlukan
dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka
sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program
jaminan social tenaga kerja. Para pekerja dalam pembangunan nasional semakin
meningkat, dengan resiko dan tanggung jawab serta tantangan yang dihadapinya.
Oleh karena itu kepada mereka dirasakan perlu untuk diberikan
perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraannya sehingga
menimbulkan rasa aman dalam bekerja.
Adapun syarat-syarat keselamatan kerja antara lain :
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
4. Memberikan kesempatan atau jalan penyelamatan diri
waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
5. Memberikan pertolongan pada kecelakaan
6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
7. Memperoleh penerangan yang cukp dan sesuai
8. Menyelanggarakan suhu dan lembab udara yang baik
9. Memeliharaan kebersihan, kesehatan dan ketertiban
B. Jenis Perlindungan Kerja
Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan
kerja yaitu sebagai berikut :
Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang
berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan
pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada
umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.
Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.[1]
Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari
bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang
dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan
kerja.
Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan
yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu
penghasilan yang cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan
keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena
sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan
jaminan sosial.
Ketiga jenis perlindungan di atas akan di uraikan
sebagai berikut :
1. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas
termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai
kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan
yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha
untuk memperlakukan pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma
yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang
mempunyai hak asasi.[2]
Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai
pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri. Jadi, jelasnya
kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari
kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya
dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu
hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan
hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial
sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
2. Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut
perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat
dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya
ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak
hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan
pemerintah.
Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan
keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga
pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin
tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di
dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan
ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah
untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi
perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.[3]
3. Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah
satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial
ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara,
Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan
program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial
yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor
formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan
bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa
atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit,
hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial
tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari
tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.[4]
Merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus
merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya program jaminan soisal tenaga
kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga yang sebagian yang hilang.
Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi
kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik
kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang
lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko – resiko seperti kecelakaan
kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
C. Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja
Berbicara tentang macam-macam jaminan sosial tenaga
kerja, maka tidak terlepas dari pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja
tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Pasal 6 ayat (1) yang
menjadi ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja meliputi:[5]
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
2. Jaminan Kematian (JK)
3. Jaminan Hari Tua (JHT)
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947; adalah Undang-Undang tentang
Kecelakaan. Oleh karena itu maka undang-undang ini memberikan jaminan
kecelakaan/menderita sakit dalam hubungan kerja yang meliputi jaminan sosial
untuk :
1. Jaminan Sosial/Tunjangan untuk Sakit (perawatan dan
pengobatan)
2. Jaminan Sosial/Tunjangan Cacat (yaitu tunjangan kepada
buruh sendiri)
3. Jaminan Sosial/Tunjangan Meninggal dunia, janda/duda,
dan anak yatim piatu.[6]
Jaminan-jaminan
sosial di atas diberikan kepada yang berhak sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan untuk masing-masing kecelakaan. Namun karena undang-undang ini
dikeluarkan Tahun 1947 maka tentu saja jumlah pemberian ganti kerugian
(jaminan) nya sudah tidak sesuai lagi untuk zaman sekarang.
Dalam praktek, yang berlaku sekarang adalah Asuransi
Sosial Tenaga Kerja (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977). Namun ini hanya
terbatas pada pekerja yang menjadi peserta ASTEK saja. Bagi yang tidak, pada
prinsipnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 masih tetap berlaku bagi mereka.
1. Jaminan Sosial/Tunjangan untuk Sakit
Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan sakit dalam
hal ini adalah sakit yang berhubungan dengan pekerjaan/hubungan kerja. Jadi
bukan semacam sakit malaria atau sakit kepala, panas dan lain-lainnya yang
satu, dua atau tiga hari akan sembuh. Sakit yang akan mendapatkan tunjangan adalah
sakit yang diderita lebih dari tiga hari dan nyata-nyata penyakit itu
disebabkan oleh karena adanya hubungan kerja atau alat-alat kerja.
Besarnya tunjangan sakit tidak ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947. Yang jelas, bahwa segala biaya pengobatan
dan perawatan termasuk obat-obat yang berkaitan dengan penyakitnya harus
diberikan penggantian kerugian. Oleh karena itu, segala kwitansi atau
bukti-bukti pembayaran lainnya dari si penderita harus disimpan untuk nanti
setelah dia sembuh egala biaya tersebut dapat dimintakan penggantian kerugian
kepada pengusaha..
Di samping itu, bagi pekerja yang terkena kecelakaan,
sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit akan mendapatkan tunjangan berdasarkan
pasal 11 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947. Besarnya tunjangan itu adalah
sebesar upahnya setiap hari selama 120 hari. Apabila setelah lewat 120 hari
pekerja ini belum juga sehat, dan tenaganya belum pulih untuk bekerja
maka tunjangan itu menjadi 50% dari upah setiap hari selama
pekerja yang bersangkutan belum mampu bekerja. Pembayaran tunjangan ini
dilakukan setiap waktu para pekerja menerima upahnya, kecuali jika antara pengusaha
dan pekerja yang bersangkutan telah dibuat perjanjian lain dari pada itu.
Dalam hal menentukan mampu tidaknya seorang pekerja
untuk bekerja kembali, setelah mengalami kecelakaan tentunya diperlukan jasa
seorang dokter penasihat. Dokter ini adalah dokter khusus yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Kecelakaan
tersebut.
2. Jaminan Sosial/Tunjangan Cacat
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 sebetulnya membagi
pengertian cacat ini ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Cacat yang mengakibatkan pekerja untuk sementara tidak
mampu bekerja,
b. Cacat yang mengakibatkan pekerja untuk selama-lamanya
tidak mampu bekerja.
Cacat yang tersebut pada poin 1 (satu) bahwa tidaklah
termasuk yang namanya cacat, sebab yang namanya cacat menurut persepsi adalah
keadaan yang mengakibatkan seorang pekerja itu selamanya tidak mampu lagi
mengerjakan yang biasa ia lakukan.
Sedangkan kalau tidak mampu bekerjanya itu hanya untuk
sementara saja maka itu bukanlah cacat, tetapi itu digolongkan ke dalam keadaan
sakit. Dari tunjangan untuk ini sudah diuraikan pada sub a di atas.
Untuk lebih jelasnya mengenai berapa besarnya
tunjangan cacat untuk selamanya tidak mampu bekerja ini, akan kami kutipkan
lampiran Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1947 sebagai berikut :
a. Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
b. Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
c. Lengan kanan dari sendi ke bawah 35
d. Lengan kiri dari sendi ke bawah 30
e. Tangan kanan dari atas pergelangan ke bawah 30
f. Tangan kiri dari atas pergelangan ke bawah 28
g. Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
h. Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
i.
Kedua belah kaki dari
mata kaki ke bawah 50
j.
Sebelah kaki dari
mata kaki ke bawah 25
k. Kedua belah mata menjadi buta 70
l.
Sebelah mata menjadi
buta 30
m. Pendengaran pada kedua belah telinga 40
n. Pendengaran pada sebelah telinga 10
o. Ibu jari tangan kanan 15
p. Ibu jari tangan kiri 12
q. Telunjuk tangan kanan 9
r.
Telunjuk tangan kiri
7
s. Satu jari lain dari tangan kanan 4
t.
Satu jari lain dari
tangan kiri 3
u. Salah satu ibu jari kaki 3
v. Salah satu ibu jari kaki yang lainnya 2
Perlu diperhatikan
bahwa :
Bagi orang kidal, kalau kehilangan salah satu lengan
atau jari, maka keterangan kanan dan kiri yang tersebut dalam daftar tersebut di
atas, diperuntukkan letaknya, Dalam hal kehilangan beberapa anggota badan yang
tersebut di atas, maka besarnya tunjangan ditetapkan dengan menjumlahkan
banyaknya persen dari tiap-tiap anggota, Anggota badan yang tidak dipakai
sama sekali karena lumpuh dianggap sebagai hilang.
Perlu diperhatikan, bahwa menurut ketentuan pasal 11
ayat (1) bagian apabila seorang pekerja yang mengalami cacat sehingga dia tidak
mampu lagi bekerja untuk selama-lamanya dan ternyata cacatnya itu tidak
terdapat dalam table di atas, maka besarnya tunjangan ditentukan oleh pegawai
pengawas dengan persetujuan dokter penasihat. Jika terjadi perselisihan antara
pegawai pengawas dengan dokter penasihat mengenai hal ini
Menteri Tenaga Kerja yang harus menetapkan dengan mengingat pertimbangan
Menteri Kesehatan.
Di samping itu, jika cacatnya pekerja tersebut
keadaannya sedemikian rupa sehingga di rumahnya dia sama sekali tidak bisa
mengerjakan pekerjaan yang biasa dia lakukan sebelum dia menderita cacat itu,
maka besarnya tunjangan adalah 50% dari upah sehari untuk setiap harinya.
Dan jika dengan kecelakaan/cacat itu menyebabkan si
pekerja secara terus- menerus memerlukan bantuan orag lain bagi dirinya maka
besarnya tunjangan dinaikkan menjadi 70% dari upah.
3. Jaminan Sosial/Tunjangan Meninggal Dunia
Jika pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan yang
diderita di dalam hubungan kerja, maka semua ahli waris yang menjadi
tanggungannya mendapatkan tunjangan/jaminan sosial berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947.
Pemberian tunjangan ini hanya dapat dilakukan secara
berkala/tiap bulan, kecuali dengan persetujuan pegawai pengawas tunjangan
berkala ini dapat doganti menjadi tunjangan sekaligus apabila :
Sedangkan besarnya tunjangan/jaminan sosial bagi ahli
waris pekerja yang meninggal dunia adalah sebagai berikut :
Sebesar 30% dari upah setiap hari untuk jandanya. Jika
terdapat lebih dari seorang janda, maka tunjangan yang 30% harus dibagi rata di
antara mereka. Kemudian jika pekerja yang meninggal adalah wanita, maka suami
yang ditinggalkannya akan mendapat tunjangan 30% dengan syarat suaminya itu
tidak mempunyai pekerjaan;
Sebesar 15% dari upah setiap hari bagi seorang anak
yang sah atau disahkan, dan belum berumur 16 tahun atau belum kawin. Jika anak
itu dengan meninggalkan pekerjaan menjadi yatim piatu maka banyaknya tunjangan
ditambah menjadi 20%;
Paling banyak 30% dari upah setiap hari untuk tiap
hari bagi ayah dan ibu, atau jika pekerja itu tidak mempunyai ayah dan ibu,
kepada kakek dan nenek yang nafkahnya sebagian besar dicarikan oleh pekerja
yang meninggal dunia. Pemberian tunjangan untuk ayah dan ibu atau kakek nenek
ini dapat dilakukan apabila pemeberian tunjangan untuk janda/duda dan anak-anak
pekerja telah dilakukan secara penuh. Artinya, tunjangan dapat diberikan kepada
mereka apabila janda/duda dan anak-anak pekerja tidak lagi mendapatkan
tunjangan; misalnya karena janda/duda itu kawin lagi, dan anak-anaknya sudah
berumur lebih dari 16 tahun.
Paling banyak 20% dari upah setiap hari bagi cucu
pekerja yang tidak berorang tua lagi dan nafkanhnya dicarikan sendiri oleh
pekerja. Tunjangan untuk cucu pekerja ini juga dapat diberikan apabila penerima
tunjangan pada poin 1,2 dan 3 sudah menerima secara penuh.
Paling banyak 30% dari upah sehari untuk mertua
laki-laki dan mertua wanita dari pekerja yang nafkahnya dicarikan oleh pekerja.
Tunjangan ini baru dapat diberikan apabila penerima
yang tersebut pada poin 1, 2, 3 dan 4 sudah menerima secara penuh.
Di atas telah dikatakan, bahwa tunjangan-tunjangan
bagi ahli waris pekerja dapat pula diberikan secara sekaligus bila pegawai
pengawasan mengizinkan. Besarnya pemeberian tunjangan secara sekaligus ini
ditetapkan :
Sama dengan 48 kali tunjangan setiap bulan, apabila
tunjangan telah diberikan secara berkala kurang dari 1 (satu) tahun;
Sama dengan 40 kali tunjangan setiap bulan, apabila
tunjangan telah diberikan secara berkala selama 1 (satu) tahun lebih, tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun;
Sama dengan 24 kali tunjangan setiap bula, apabila
tunjangan telah diberikan secara berkala selama 3 (tiga) tahun lebih.
Selain tunjangan-tunjangan bagi para ahli waris di
atas, apabila pekerja meninggal dunia ahli warisnya juga akan mendapatkan
tunjangan uang kubur.
Besarnya tunjangan uang kubur ini ketika Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947 seratus dua puluh lima rupiah.
Jumlah yang Rp 125,00 tentu saja untuk saat sekarang
tidak ada gunanya, dan oleh karenanya perlu disesuaikan. Undang-undang dan
peraturan-peraturan yang akan menyesuaikan jumlah tunjangan kubur di atas
sampai sekarang tidak muncul-muncul.
Karena tidak ada peraturan yang menyesuaikan besarnya
uang kubur, maka praktek yang berlaku adalah kebijaksanaan dari majikan
perusahaan. Artinya, besar tunjangan uang kubur yang diberikan kepada ahli
waris pekerja adalah tergantung dari kebijaksanaan majikannya. Akibatnya, besar
uang tunjangan kubur di masing-masing perusahaan adalah berbeda. Dan ini
tentu saja menimbulkan rasa ketidakadilan. Oleh karena itu, jalan yang paling
baik adalah memasukkan semua pekerja menjadi peserta ASTEK.
D.
Sejarah Jaminan Sosial Ketenaga Kerjaan
Gerakan jaminan
sosial dimulai pada permulaan abad ke-19 di Eropa Barat. pada waktu itu di
negara-negara tersebut sudah berlaku perundang-undangan kemiskinan (poor law)
di mana orang-orang miskin dapat memperoleh bantuan dari pemerintah.
Peraturan perundangan
kemiskinan ini pada mulanya dimaksudkan sebagai alat untuk mencegah terjadinya
kelaparan dan ketelantaran sehingga menghindari kemungkinan terjadinya gejolak
sosial. Namun mengingat pada waktu itu di Eropa Barat terjadi pula proses
industrialisasi yang menimbulkan golongan masyarakat baru, yang terdiri
dari para buruh dengan upah yang
rendah, mengakibatkan perundangan kemiskinan itu dituntut pula
agar berlaku bagi mereka. Dengan berlakunya peraturan perundangan kemiskinan
tersebut, bagi para kaum buruh di Eropa Barat, maka dimuailah suatu
momentum baru yang mendasari prinsip-prinsip jaminan sosial bagi buruh yang
peraturan perundangannya baru bisa dibentuk beberapa tahun kemudian.
Secara bertahap
sampai dengan tahun 1880 terdapat tiga metode yang dipergunakan untuk
memberikan perlindungan (jaminan social) bagi buruh dari ketelantaran, yaitu :
1.
Tabungan Kecil
Dengan metode ini
prinsip jaminan sosial tidak mencapai sasarannya. Upah buruh/tenaga kerja yang
sudah sedemikian kecilnya tidak mungkin akan disisihkan/disisakan lagi untuk
tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sudah dapat dikatakan tidak mencukupi
apalagi untuk ditabung
2.
Tanggung Jawab Pengusaha
Maksud dari metode
ini adalah membebankan tanggung jawab untuk menanggung buruh yang terkena
risiko kerja, sepenuhnya pada pengusaha (employers liability). Metode ini
didasarkan atas prinsip, bahwa siapa yang mempekerjakan buruh tentu harus
bertanggung jawab atas buruh itu, termasuk pula atas kemungkinan keselamatan
kerja yang bisa saja dialami oleh buruh berlangsungnya hubungan kerja tersebut.
Dari ketentuan pasal
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa buruh yang tertimpa kecelakaan kerja
dapat menuntut majikan(yang tentu saja lewat pengadilan) untuk memberikan ganti
kerugian. Tuntutan ini dapat dilakukan dengan alasan, bahwa majikan telah
melalaikan kewajibannya untuk memelihara alat-alat sehingga buruh tertimpa
kecelakaan.
3.
Metode Asuransi Komersial
Untuk meringankan
beban tanggung jawab pengusaha dalam menanggung ganti rugi kecelakaa kerja,
pada akhir abad ke-19 digunakan metode asuransi. Mula-mula metode ini hanyalah
berupa metode yang biasa saja atau bisa dikatakan primitif karena anggota
masyarakat (buruh) secara periodik dan teratur mengumpulkan uang untuk
memberikan batuan pemeliharaan medis atau penguburan bagi para anggota yang
menderita risiko.
Pada awalnya, metode
ini membawa hasil. Tetapi lama kelamaan sering jaminan yang dijanjikan tidak
terpenuhi karena faktor manajemen yang tidak teratur. Karena itu maka
pemerintah turun tangan dengan memberi pengaturan, pengawasan dan pembatasan
kegiatan usaha-usaha yang dapat dilakukannya secara efisien. Pengelolaan bidang
usaha tersebut akhirnya dikelola secara komersial sehingga mirip dengan
perusahaan asuransi yang kita kenal sekarang ini.
Karena sudah bersifat
komersial maka sulit diharapkan metode ini akan mencapai sasaran dalam
memberikan jaminan sosial secara kolektif yang menyangkut risiko sosial dan
ekonomis, seperti pertanggungan sakit, hamil dan bersalin misalnya. Apabila
dipaksakan, kemungkinan risiko yang hanya bisa dicakup oleh perusahaan komersial
hanyalah asuransi jiwa saja.
4.
Metode Asuransi Sosial
Program asuransi
sakit. Kemudia dalam tahap berikutnya tahun 1884 ditambah dengan program
asuransi kecelakaan kerja. Dan pada tahun 1889 dilengkapi dengan Program
Asuransi Pensiun hari tua dan cacat.
Asuransi sosial ini
dikatakan mantap dan baik karena mengandung sifat- sifat sebagai berikut :
a.
Dibiayai dari iuran pekerja, pengusaha dan mungkin
saja pemerintah;
b.
Jaminan dibayarkan dari iuran tersebut;
c.
Hak buruh didasarkan atas iurannya;
Tidak diperlukan
adanya tes kebutuhan; semua pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan
diwajibkan menjadi peserta tanpa memandang kesehatan dan besar kecilnya risiko
kerja.
Dari uraian tersebut
mengenai sejarah terbentuknya jaminan social bagi pekerja ini, maka dapat
disimpulkan bahwa Republik Indonesia dalam sejarah jaminan social bagi
pekerja-pekerjanya pernah memakai metode-metode tanggung jawab pengusaha dan
metode asuransi sosial berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951, Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 3 Tahun
1964 jo Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 3 Tahun 1967, dan
yang terakhir yang sedang hangat-hangatnya
diberlakukan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977.[7]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang
bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan social
tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang
wajib di laksanakan oleh setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan
orang untuk bekerja pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu
mengenai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan di maksud diselenggarakan
dalam bentuk jaminan social tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan
atau bersifat dasar, dengan bersaskan usaha bersama, kekeluargaan dan kegotong
royongan sebagai mana yang tercantum dalam jiwa dan semangat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian
atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri. Jadi, jelasnya kesehatan
kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian/keadaan
hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal
pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan
kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja
dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan
dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
B.
Kritik Dan Saran
Demikian
makalah ini kami buat untuk memenuhi dan memberi pemahaman kepada mahasiswa/i
tentang jaminan sosial ketenaga kerjaan,
Makalah
yang kami buat masih jauh dari kata sempurna maka untuk itu kami mohon saran
yang sifatnya membangun agar menjadi pembelajaran bagi kami
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad.Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. PT.citra Aditya Bakti.Bandung. 2006.
2.
Husni.Lalu . Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.200.
3.
http://Huk.ketenagakerjaan/SEJARAH PERJALANAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA
Laskar Pena Sukowati.htm
5.
Lalu Husni, S.H., M.Hum. pengantar hokum
ketenagakerjaan Indonesia.jakarta. hal 158
6.
http://Huk.ketenagakerjaan/SEJARAH PERJALANAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA
Laskar Pena Sukowati.htm
7.
Prof Abdulkadir Muhammad. “Hukum Asuransi
Indonesia”.bandung. hal 226
[4] Pengantar hukum ketenaga kerjaan indonesia, ( Jakarta : PR Raja Grafindo
Persada, 2003 ), hal 122
0 Response to "makalah jaminan sosial ketenaga kerjaan"
Post a Comment