BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak
bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan dengan
orang lain. Dalam istilah di atur segala tingkah laku manusia yang
mengharuskan adanya interksi dengan sesama yakni dalam kajian fiqh muamalah,
yang mana didalamnya juga membahas aturan sewa-menyewa dan gadai.
Dalam masalah sewa-menyewa dan gadai ini,
adanya suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak yang
mengadakan suatu interaksi tersebut baik itu sewa-menyewa dan gadai. Adapun
syarat secara umum bagi pihak yang melakukan sewa-menyewa dan gadaiitu harus
mesti orang yang sudah memiliki kecakapan betindak sempurna, sehingga perbuatan
yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Para ulama berpendapat
tentang kecakapan bertidak didalam lapangan muamalahini ditentukan oleh hal-hal
yang bersifat pisik dan kejiwaan sehingga segala tindakanyang dilakukanny dapat
dipandang sebagai sutu perbuatan yang sah sesuai dengan syariat islam.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengertian sewa-menyewa dan gadai, hukum sewa-menyewa dan gadai, syarat dan
rukun sewa-menyewa dan gadai, serta jenis-jenis sewa-menyewa dan gadai.
sekaligus sebagai tugas dari dosen mata kuliyah fiqih muamalah abad klasik dan
menengah. Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca makalah
ini.
B. Permasalahan
a.
Apa pengertian Ijarah(Sewa
menyewa) dan Rahn(Gadai)
b.
Bagaimana dalil tentang
Ijarah(Sewa menyewa) dan Rahn(Gadai)
c. Bagaimana Akad ijarah(Sewa menyewa) dan Rahn(Gadai)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sewa-menyewa
(Ijarah)
Secara etimologis,
kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti. Oleh karena
itu, tsawah ‘pahala’ disebut juga dengan ajru ‘upah’. Pihak pemilik yang
menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang
menyawakan disebut musta’jir. Dan, sasuatu yang diamil manfaatnya
disebut ma’jur.Sedangkan jasa yang diberikan sebbagai imbalan atas
mannfaat tersebut disebut ajrahatau ujrah upah
Menurut istilah para ulama mendefinisikan sewa (ijarah)
sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah
bahwa ijarah adalah akad untuk memolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
Menurut Malikiayah ijarah adalah suatu akad
yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah uantuk masa
tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
Menurut Syfi’iyah
ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan
tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan
imbalan tertentu.
Menurut Hanabilah
ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan
kara’ dan semacamnya.
Menurut Sayyid
Sabiq bahwa ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian.
Menurut Sulaiman rasjid, mempersewakan
adalah akad atas manfaat (jasa) dengan maksudyang diketahui, dengan
tukaran yang diktahui menurut syarat-syarat yang akan dijelakan kemudian.[1]
Dari
definisi-definisi tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak
ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau
sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari
bahwa ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan
imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang
(bukan barang).
1.1.Dasar Hukum Syariat
tentang Sewa-menyewa
Para
fuqaha’ sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’,
kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Bin Aliyah, Hasan
Al-Basri, Al-qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan
ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat
dilakukannya akad, tidak isa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah
manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikti. Sedangkan sesuatu yang tidak
ada pada waktu akad tidak boleh diperjuabelikan. Akan tetapi,
pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu
akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah
yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan jumhur ualama
memperbolehkan Ijarah (sewa) adalah:
v Dalil Al-Qur’an
1. QS; Azzukhruf ayat 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا
بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian
mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan. (QS; Al Zukhruf ayat 32)[2]
o Tafsir
Allah berfirman: اهم يقسمون رحمت
ربك (“Apakah mereka
yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu?”) yaitu perkaranya bukanlah dikembalikan
kepada mereka, akan tetapi kepada Allah. Dan Allah lebih mengetahui kepada
siapa Dia jadikan risalah-Nya, karena Dia tidak menurunkannya kecuali kepada
makhluk-Nya yang hati dan jiwanya paling bersih, serta keluarganya paling
terhormat dan asal-usulnya paling suci. Kemudian Allah berfirman memberikan
penjelasan bahwa Dia memberikan tingkatan kepada makhluk-Nya tentang harta,
akal dan pemahaman yang diberikan kepada mereka serta berbagai daya, lahir dan
batin. Maka Dia berfirman: لحيوة الدنيا نحن قسمنا بينهم معيشتهم في ا (“Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.”)
Firman Allah: ورفعنا
بعضهم فوق بعض درجت (“dan
Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat)
Firman Allah: سخرياليتخذ بعضهم
بعضا (“Agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.”) satu pendapat mengatakan bahwa
maknanya adalah, agar sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain dalam berbagai amal, karena sebagian
membutuhkan sebagian yang lain. Itulah yang dikatakan oleh as-Suddi dan
lain-lain. Sedangkan Qatadah dan adl-Dlahhak berkata: “Agar sebagian mereka
memiliki sebagian yang lain.” Dan makna ini kembali kepada yang pertama.[3]
Firman Allah: و
رحمت ربك خير مما يجمعون (“Dan
rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”) yaitu rahmat Allah
kepada para makhluk-Nya lebih baik bagi mereka daripadaapa yang mereka miliki
berupa harta benda dan kesenangan kehidupan dunia.
Allah subhanahu wa ta’ala memang
memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan
rezeki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu?
Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an:
o فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٥٠)
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi
mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”(QS. Al-Hajj: 50)
o Analisis
Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir
mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar
firman Allah Ta’ala ( ورزق كريم) ‘Dan rezeki yang mulia,’ maka rezeki yang mulia itu adalah
surga.”
Dengan demikian, maka sebaik-baik rezeki
adalah surga.Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan dua
perkara penting, yakni iman dan amal sholeh.Karena hanya keduanyalah yang dapat
mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rezeki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat tercela
bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta.Apalagi kalau
sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya karena alasan
kemiskinan.Sebab, rezeki yang paling mulia adalah surga, bukan harta atau
benda.
o Asbabun nuzul
Qatadah ra. Menerangkan, bahwa kedua ayat
ini diturunkan berkenaan dengan walid bin mughirah yang berkata “ jika yang
dikatakan muhammad itu benar bahwa al-quran itu dari Allah, pasti quran itu
diturunkan kepadaku atau mas'ud ats-tsaqafi” (HR. Ibnu mundzir. Lihat ibnu
jarir : 11/58 dan qurthubi: 4/3232)
2. QS; Al Qashash ayat 26 dan 27
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِي
Artinya :Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya."( QS; Al Qashash ayat 26)[4]
o Tafsir
(قَالَتْ إِحْدَاهُمَا) yakni wanita yang disuruh menjemput Nabi Musa yaitu yang
paling besar atau yang paling kecil (يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ) sebagai pekerja kita, khusus untuk
menggembalakan kambing milik kita, sebagai ganti kami (ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ
اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِي)
maksudnya, jadikanlah ia pekerja padanya, karena dia adalah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya. Lalu Nabi Syuaib bertanya kepada anaknya tentang Nabi
Musa. Wanita itu menceritakan kepada bapaknya semua apa yang telah dilakukan
oleh Nabi Musa, mulai dari mengangkat bata penutup sumur, juga tentang
perkataannya, "Berjalanlah di belakangku". Setelah Nabi Syuaib mengetahui
melalui cerita putrinya bahwa ketika putrinya datang menjemput Nabi Musa, Nabi
Musa menundukkan pandangan matanya, hal ini merupakan pertanda bahwa Nabi Musa
jatuh cinta kepada putrinya, maka Nabi Syuaib bermaksud mengawinkan
keduanya.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى
ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ
حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّالِحِي
Artinya:Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa
kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.
Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik."
o Tafsir
(قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى
ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ) yaitu
yang paling besar atau yang paling kecil (عَلَىٰ
أَنْ تَأْجُرَنِي) yakni,
menggembalakan kambingku (ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ ) selama delapan tahun (فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا ) yakni, menggembalakan kambingku selama sepuluh tahun (فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ ) kegenapan itu (maka aku tidak hendak
memberati kamu) dengan mensyaratkan sepuluh tahun. (سَتَجِدُنِي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ ) lafal Insya Allah di sini maksudnya untuk
ber-tabarruk (مِنَ الصَّالِحِي ) yaitu orang-orang
yang menepati janjinya[5].
3. QS Alkahfi ayat 94
نَجْعَلُ فَهَلْ الأرْضِ فِي
مُفْسِدُونَ وَمَأْجُوجَ يَأْجُوجَ إِنَّ
الْقَرْنَيْنِ ذَا
يَا
قَالُوا -
سَدًّا وَبَيْنَهُمْ بَيْنَنَا تَجْعَلَ أَنْ
عَلَى
خَرْجًا لَكَ
Artinya:Mereka berkata, "Wahai
Dzulkarnain! Sungguh, Ya'juj dan Ma'jujitu (sekelompok manusia) yang berbuat
kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan
dinding penghalang antara kami dan mereka(Q.S.Alkahfi:94)
Tafsir
(Mereka berkata, "Hai Zulkarnain!
Sesungguhnya Yakjuj dan Makjuj itu) dikenal dengan nama Yakjuj dan Makjuj.
Kedua nama tersebut merupakan nama 'Ajam bagi dua kabilah, dengan demikian maka
I'rabnya tidak menerima tanwin (orang-orang yang membuat kerusakan di muka
bumi) mereka gemar merampok dan membuat kerusakan di kala mereka keluar dari
sarangnya menuju kami (maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu) yakni upah berupa harta; dan menurut qiraat yang lain lafal Kharjan
dibaca Kharaajan (supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?)"
tembok penghalang hingga mereka tidak dapat mencapai kami.
4. Surat Atthalaq Ayat 6
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَىٰ
Artinya:Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(Q.S.Atthalaq:6)[6]
Tafsir
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri
yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat
tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal
ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan
mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya
mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada
tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka
tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk
keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya
sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan bayi kalian)
maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka
berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah
di antara kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik
menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga
tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui
kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah
menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan
menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu
semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh
dipaksa untuk menyusukannya.
Analisis
Telah disebutkan
sebelumnya, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mengeluarkan
wanita-wanita yang ditalak dari rumah, dan di ayat ini Allah Subhaanahu wa
Ta'aala memerintahkan untuk memberi mereka tempat tinggal. Ukuran tempat
tinggal adalah secara maâruf (wajar) yaitu rumah yang biasa ditempati oleh
orang yang semisal si laki-laki dan si wanita (standar) sesuai kemampuan suami.
Yakni jangan menyusahkan
mereka ketika mereka (istri-istri) menempati tempat tinggal itu baik dengan
kata-kata maupun perbuatan dengan maksud agar mereka bosan sehingga mereka
keluar dari rumah sebelum sempurna iddahnya yang berarti kamu sama saja
mengeluarkan mereka dari rumahmu. Kesimpulan ayat ini adalah larangan mengeluarkan
mereka dari rumah, dan larangan bagi mereka (wanita yang ditalak) keluar dari
rumah suami mereka serta perintah untuk memberi mereka tempat tinggal dengan
cara yang tidak menimbulkan bahaya dan kesulitan, dan hal ini dikembalikan
kepadanyauruf (kebiasaan yang berlaku).
Hal itu karena kandungan
yang ada di perutnya jika wanita itu ditalak baâin, namun jika ditalak rajâi,
maka infak itu karena wanita itu dan kandungannya, dan nafkah berakhir sampai
wanita itu melahirkan kandungannya. Jika mereka telah melahirkan kandungannya,
maka mereka bisa menyusukan anak mereka atau tidak. Jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka.
Yang sudah ditentukan
untuk mereka, jika belum ditentukan maka dengan upah mitsil (standar).
Yakni hendaknya
masing-masing dari suami dan istri serta selain dari keduanya bermusyawarah
dengan baik.
Untuk membuat kesepakatan
terhadap upah yang diberikan, atau bermusyawarah untuk hal yang bermanfaat dan
bermaslahat di dunia dan akhirat bagi keduanya dan bagi anak mereka, karena
melalaikannya dapat menimbulkan keburukan dan bahaya yang banyak yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Di samping itu, dalam
bermusyawarah terdapat tolong-menolong terhadap kebaikan dan takwa. Termasuk
yang perlu diterangkan pula di sini adalah bahwa suami dan istri ketika
berpisah di masa iddah, khususnya apabila lahir anak dari keduanya, biasanya
terjadi pertengkaran dalam hal menafkahi si wanita dan si anak, yakni ketika
sudah berpisah yang biasanya terjadi karena kebencian, dimana dari kebencian
timbul banyak masalah. Oleh karena itulah, mereka diperintahkan bermusyawarah,
berbuat baik, bermuâamalah secara baik, tidak bermusuhan .
1.2. Syarat dan Rukun Akad Sewa
Adapun ijarah atau sewa menyewa terdiri dari
empat jenis persyaratan, yaitu
a. Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat terjadinya akad berkaitan dengan
‘aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal.
Dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan balig menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya gila atau masih
dibawah umur.
b. Syarat kelangsunga akad (nafadz)
Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan
terpenuhinya hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku tidak
mempunyai hakkepemilikan atau kekuasaan
(wilayah), seperti akad yang dilakukan oleh fadhuli, maka
akadnya tidak bisa dilangsungkan
c. Syarat sahnya ijarah
1. Persetujuan
kedua belah pihak
2. Objek
akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
3. Objek
akad ijarah harus dapat dipenhi, baik menurut hakiki mapn syr’i
4. Manfaat
yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’.
5. Pekerjaan
yang dilakukan itu bukan fardu dan bukan kewajiban orang yang disewa
(ajir) sebelum dilakukan ijarah.
6. Orang yang
disewa tidak boleh mengambil manfaaat dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
7. Manfaat
m’aqud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa
berlaku umum.
d. Syarat mengikatnya akad ijarah (syarat luzum)
Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan
dua syarat
1. Benda yang
disewakan harus terhindar dari cacat (aib) yang menyebabkan terhalangnya
pemanfataan atas benda yang disewaan itu. Apabila terdapau suatu cacat (‘aib)
yang demikian sifatnya, maka orang yang menyewa bole mamilih antara meneruskan
ijarah dengan pengurangan uang sewa dan membatalkannya.
2. Tidak
terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah. Misalnya udzur pada
salah seorang yang melakukan akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila
terdapat adzur, baik pada pelaku maupun pada ma’qud alaih, maka pelaku berhak
membatalkan akad.
1.3. Macam-macam atau Jenis-jenis Sewa
Menyewa
a. ijarah ‘alal manfaat (sewa)
yaitu akad ijarah yang obyeknya berupa
manfaat suatu brarang, maksudnya akad ijarah ini adalah untuk mendapatkan
manfaat suatu barang. Contohnya Andi menyewa sebuah mobil miliknya si Wawan
yang akan digunakan untuk pergi kerumah orang tuanya, dari itulah kita bisa tau
bahwa Andi telah mendapatkan manfaat suatu barang yang telah disewanya dari
mobil miliknya si Wawan.
b. ijarah ‘alal ‘amal (upah)
yaitu akad ijarah yang objeknya berupa
manfaat tenaga kerja/jasa. Mauksudnya akad ijarah jenis ini diterapkan untuk
mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa. Contohnya Pak Tohir menyewa seorang
tukang merbaiki rumah untuk memperbaiki rumahnya yang rusak terkena badai,
dengan ini kita bisa tau bahwa Pak Tohir menyewa tenaga tukang rumah itu untuk
memperbaiki rumahnya dan apabila tukang rumah telah selesai memperbaiki rumah,
maka Pak Tohir akan membayar tukang itu yang disebut dengan upah.
B.
Pengertian
Gadai (Rahn)
Menurut
bahasa, rahn artinya adalah tetap dan berkesinmbungan. Disebut juga
dengan al-habsu yang artinya menahan. Contoh penggunaannya dalam
kalimat, “ Ni’matun Rahinah” yang bermakna karunia yang tetap dan
berkesinambungan. Penggunaan rahn unuk makna al-habsu ‘menahan’, dimuat dalam
Al-Qur’an,
‘tiap-tiap peribadi terikat (tertahan) dengan atas
apa yang telah diperbuatnya.” (al-muddatsir [74]:38)
Menurut istilah
syara’, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayyid Sabiq yang mengutip pendapat
Hanafiyah sebagai berikut, sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda
yang memiliki nialai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang,
dengan ketentuan dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil
sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut.
Syafi’iyah,
sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn)
sebagai berikut, Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untutk
hutang, dimana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan)
tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan.
Hanabilah
memberikan definisi rahn sebagai berikut, Gadai adalah harta yang dijadikan
sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabilaterjadi
kesulitan dalam pengambilannya dari orang yang berutang.
Malikiyah memberikan definisi gadai (rahn)
sebagai berikut, Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang
diambil dari pemiliknya sebagai jaminanuntuk utang yang tetap (mengikat)atau
menjadi tetap.[7]
Dari
definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab tersebut dapat dikemukakan
bahwa dikalangan ulama tidak terdapat perbedaan yang mendasar dalam
mendafinisikan gadai (rahn). Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat
diambil intisari bahwa gadai (rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai
jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjai kesulitan dalam
pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan barang yang
dijadikan jaminan itu.
2.1 Dasar Hukum
Gadai (Rahn)
Gadai
(rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma’. Adpun dasar
dari Al-quran tercantum dalam suah Al-Baqarah (2) ayat 283:
Artinya:“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)
o
Tafsir
Firman Allah: wa in kuntum ‘alaa safarin
(“Jika kamu dalam perjalanan.”) Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi
hutang-piutang sampai batas waktu tertentu; wa lam tajiduu kaatiban (“Sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis.”) Yaitu seorang penulis yang menuliskan
transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan penulis,
tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang
jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti
dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.”
Firman Allah Ta’ala: fariHaanum
maqbuudlatun (“Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [oleh yang
berpiutang].”) Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan
harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat
Imam Syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama yang lain menjadikan ayat tersebut
sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang
memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok ulama lain
juga berpendapat demikian.
Sebagian ulama salaf juga menjadikan ayat
ini sebagai dalil bahwa barang jaminan itu hanya disyariatkan dalam transaksi
di perjalanan saja. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid dan ulama
lainnya. Dan dalam Shahihain telah diriwayatkan, dari Anas bin Malik ra: “Bahwa
Rasulullah telah meninggal dunia, namun baju besinya masih menjadi jaminan di
tangan seorang Yahudi, untuk pinjaman 30 wasaq gandum. Beliau meminjamnya untuk
makan keluarganya.”
Sedangkan dalam riwayat
lain disebutkan: “Dari seorang Yahudi Madinah.”
Dan dalam riwayat Imam Syafi’i, (beliau
gadaikan) pada Abu Syahmal-Yahudi. Penjelasan mengenai permasalahan ini
terdapat dalam kitab al-Ahkamul-Kabir.
Firman Allah: fa in amina ba’dlukum
ba’dlan fal yu-addil ladzi’tumina amaanataHuu (“Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya [hutangnya].”) Diwayatkan Ibnu AbiHatim dengan isnad jayid, dari Abu
Sa’id al-Khudri, ia telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat
sebelumnya.
Imam asy-Sya’bi mengatakan, “Jika sebagian
kamu saling mempercayai sebagian lainnya, maka tidak ada dosa bagimu untuk
tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian. Dan firman-Nya lebih lanjut: wal
yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya,”)
maksudnya (adalah), orang yang dipercaya (untuk memegang jaminan, hendaklah
bertakwa kepada Allah.).[8]
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dari Qatadah,
dari al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kewajiban tangan
adalah mempertanggung-jawabkan amanat yang diterima-Nya, sehingga ia
melaksanakan (pengembalian)nya.” (Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani
dalam kitab Dha’iful jaami’ (3737).
Firman Allah selanjutnya: walaa taktumusy
syaHaadata (“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian.”)
Maksudnya, janganlah kamu menyembunyikan, melebih-lebihkan, dan jangan pula
mengabaikannya. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan, “Kesaksian palsu
merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga
menyembunyikannya.”
Oleh karena itu Allah berfirman: wamay
yaktumHaa fa innaHuu aatsimun qalbuHu (“Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”) As-Suddi mengatakan,
“Yaitu orang yang jahat hati-Nya.” Ini sama dengan firman-Nya yang artinya:
“Dan (tidak pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Maa-idah: 106).
Dan firman-Nya yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih mengetahui
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha-mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 135).
Demikian juga dalam surat al-Baqarah ini,
Allah Ta’ala berfirman: walaa taktumusy syaHaadata wamay yaktumHaa fa innaHuu
aatsimun qalbuHu wallaaHu bimaa ta’maluuna ‘aliim (“Dan janganlah kamu [para
saksi] menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha-mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Analisis
Dari ayat dan hadis-hadis terebut jelaslah
bhwa gadai (rahn) hukumnya dibolehkan,
baik bagi orang yang sedang dalam perjalanan maupun orang yang tinggal dirumah.
Memang dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 283, gadai dikaitkan dengan safar
(perjalanan). Akan tetapi, dalam hadis-hadis tersebut Nabi SAW melaksanakan
gadai (rahn) ketika sedang di Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak
terbatas hanya dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang tinggal
dirumah. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan menurut imam
Mujahid, Dhahhak, dan Zhahiriyah, gadai (rahn) hanya dibolehkan bagi orang yang
sedang dalam perjalanan, sesuai denganayat 283 Surah Al-Baqarah (2) tersebut
ditas.
2.2 Rukun dan Syarat Gadai
1. Rukun gadai
Menurut jumhur ulama rukun gadai ada empat, yaitu
a. Aqid
b. Shigat
c. Marhun
(benda yang digadaikan), dan
d. Marhunbih
(uatng)
2. Syarat-syarat Gadai
a. Syarat
Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dlam
gadai yaitu rahin dan murthin, adalah ahliyah (kecakapan). Ahliyah (kecakapan)
menurut Hanafiyah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap
orang yang sah melakukan jul beli, sah pula orang yang melakukan gadai. Hal ini
dikarenakan rahn atau gadai adalah suatu tasaruf yang bekaitan dengan harta,
seperti halnya jual beli. Dengan demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku
disyaratkan erakal dan mumayyiz. Maka tidak sah gadai yang diakukan oleh orang
gila atau anak yang belum memasuki masa tamyiz.[9]
Menurut jumhur ulama selain hanafiyah,
kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan untuk mlakukan jual beli dan akad
tabarru’. Hal ini dikarenakan akad gadai adalah akad tabarru’, oleh krena itu
tidak sah akad gadai yang dilkukan oleh oang yang dipaksa, anak yang dibawah
umur, gila, boros dan pailit.
b. Syarat Shighat
Menurut Hanafiyah, shighat gadai (rahn)
tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang
kan datang. Hal ini dikarenakan akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat
dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan kepada syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad menjadi fasid seperti
halnya jual beli.
d. Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat
marhun (barang yang digadaikan) sama dengan syarat jual beli. Artinya, semua
barang yang sah di perjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci Hanafiah
mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut.
1. Barang
yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad
dan mungkin untuk diserahkan.
2. Barang
yang digadaikan harus berupa mal (harta)
3. Barang
yang digadaikan harus mal mutaqawwim.
4. Barang
yang digadai harus jelas
5. Barang
tersebut dimiliki oleh rahin
d. Syarat
Marhun bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya
barng gadaian diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun
bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
1. Mahun bih harus
berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rhin karna tidak
perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.
2. Pelunasan
utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih.
3. Hak marhun
bih harus jelas, tidk boleh majhul.
Syafiiyah dan Hanabilah mengemukakan tiga syrat untuk marhun
bih
1. Marhun bih
harus berupa utang yang tetap dan wajib, misalnya qardh, atau manfaat, seperti
pekerjaan dalam ijarah
2. Utang
harus mengikat baik pada masa sekarang (waktu akad) maupun mendatang, misalnya
ditengah masa khiyar.
3. Utang
harus jelas atau ditentukan kadarnya dan sifatnya bagi para pihak yang
melakukan akad.
e. Syarat Kesempurnaan
Rahn: penerimaan marhun
1. Status
penerimaan (qabdh)
·
Secara umum para fuqaha
sepakat bahwa penerimaan (qabdh) atas barang yang digadaikan merupakan syarat
yang berlaku untuk akad gadai (rahn).
·
Menurut jumhur ulama qabdh
(penerimaan), bukan syarat sah melainkan syarat luzum (mengikatnya) gadai
(rahn).
·
Menurut Malikiyah, qabdh
(penerimaan) buakan merupakan syarat sah atau syarat lazim, melainkan hanya
merupakan syarat kesempurnaan saja.
2. Cara penerimaan
·
Para fuqaha sepakat bahwa
cara penerimaan (qabdh) untuk benda tetap (‘aqar) adalah dengan penyerahan secara
langsung ata dengan pengosongan.
·
Syafiyah dan Hanabilah sama
pndapatnya dengn Abu Yusuf, yaitu bahwa qabdh daam gadai adalah sama dengan
qabdh dalam jual beli. Apabila bendanya benda tetap maka cukup dengan
takhliyah, yaitu melepaskan hal-hal yang menghalangi antara rahin dan murtahin.
3. Syarat-syarat penerimaan
·
Harus ada izin rahin
·
Rahin maupun murtahin harus
memiliki ahliyatul ada’ (kecakapan) melakukan akad
·
Murtahin harus tetap
memegang (menguasai) barang gadaian
4. Orang yang berkuasa atas
borg (rahn)
Orang yang bekuasa untuk menerima org atau
barang gadaian adalah murtahin atau wakilnya. Orang yang mewakili murtahi harus
orang selain rahin. Apabila yang mewakili itu rahin maka hukumnya tidak sah,
karena tujuan penerimaan adalah untuk menimbulkan rasa aman bagi murtahin atas
utang yang ada pada rahin.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas
manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas
suatu barang (bukan barang). Dari segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan
jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda,
sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda,
buakan manfaat. Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah
susunya karena susu bukan manfaat, melainkan benda.
Gadai (rahn) adalah
menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa
apabila terjai kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar
dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Drs. H. Ahmad
Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta 2010
2. Al-Quran dan Terjemahan
terbitan UII Press
3. Said Sabiq, Fiqih
Sunnah.
4. Tafsir Al ahkam
6. Tafsir jalalain
7. Tafsir Al Ahkam
[2]
Al-qur’a dan terjemahan
[3]
Tafsir jalalain
[4]
Al-qur’an dan terjemahan
[5]
Tafsir ibnu katsir
[6]
Al-qur’an dan terjemahan
[8]
Tafsir jalalain
0 Response to "MAKALAH TAFSIR"
Post a Comment